Dua Dunia dalam Satu Langit

Di bawah langit yang sama, ada yang tidur berselimut bintang karena tak punya atap. Ada yang memejamkan mata di sudut-sudut jalan dengan tubuh lelah yang masih menggigil, berharap malam segera berganti. Esok baginya bukan tentang rencana tapi tentang harapan bisa bertahan. Sekadar sepotong roti pun kadang harus ditebus dengan peluh yang mengering, bahkan dosa yang dipaksakan. 

Ada yang berjalan jauh hanya untuk sesuap nasi. Ada yang menahan lapar dengan segelas air dan senyum pura-pura. Ada yang hidupnya terus dihantui oleh tagihan, utang, dan nasib yang tak pernah berpihak.

Namun di sisi lain, ada kita. Kita yang bangun pagi dengan pilihan: mau sarapan apa. Kita yang duduk nyaman dalam rumah yang teduh dikelilingi keluarga yang hangat, pekerjaan yang tetap, penghasilan yang cukup. Tapi tetap saja, masih sering mengeluh: tentang sinyal yang lambat, tentang gaji yang tak secepat keinginan, bahkan tentang hari yang terasa membosankan meski semua sudah tersedia.

Kita sering lupa bahwa banyak dari apa yang kita miliki hari ini adalah doa yang dulu pernah kita panjatkan. Kita sering alpa, bahwa hidup kita yang sekarang adalah mimpi bagi banyak orang di luar sana. Kita lupa bersyukur, terlalu sibuk ingin lebih. Ingin yang itu, ingin yang ini. Padahal, banyak di luar sana yang hanya ingin hidup dengan layak.

Mungkin kita harus berhenti sejenak. Menyadari bahwa setiap tetes hujan yang jatuh adalah anugerah, setiap nafas yang kita hirup adalah karunia. Mungkin kita perlu belajar melihat ke luar, agar tak lagi terjebak dalam labirin keinginan yang tak pernah ada habisnya. Agar menyadarkan kita betapa banyak nikmat yang diam-diam telah menetap. Agar hati tak terus merasa kurang, agar jiwa tak terus berlari mengejar yang semu. 

Karena sesungguhnya, yang paling miskin bukanlah yang tak punya apa-apa, tapi yang tak pernah merasa cukup.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sama sepertiku, sama sepertimu

Tak Perlu Serupa