Sama sepertiku, sama sepertimu
Pernah ada seseorang yang begitu dekat.
Begitu dekat, sampai kita tahu kapan dia bangun dan apa yang membuatnya tersenyum.
Seseorang yang rasanya seperti rumah, tempat kita pulang setelah hari-hari yang melelahkan.
Tapi dunia punya caranya sendiri untuk mengajarkan jarak.
Sedekat apa pun dua hati, jika waktunya tiba, mereka bisa saling lupa.Bukan karena semua itu bohong,
tapi karena manusia bisa berubah dan memang sering berubah--bahkan ketika tak ada yang salah.
Dia menyakiti; juga mengecewakan. Tapi aku tahu, dia tidak jahat.
Dia hanya manusia--yang mungkin sedang mencoba bertahan dalam hidupnya sendiri.
Sama sepertiku. Sama sepertimu.
Kita semua pernah jadi luka bagi orang lain--kadang tanpa sengaja, kadang karena kita juga sedang patah.
Aku dulu bertanya-tanya,
kenapa hari ini bisa sedekat itu, tapi esoknya seperti tak saling kenal?
Kenapa janji bisa berubah jadi diam, dan pelukan jadi punggung yang menjauh?
Tapi sekarang aku mengerti.
Tak semua yang datang, datang untuk tinggal.
Tak semua genggaman ditakdirkan bertahan selamanya.
Dan tak semua yang kita percaya, akan selalu bisa dipegang.
Ada hal-hal yang tak bisa kita cegah.
Ada perpisahan yang tak punya alasan yang bisa dijelaskan.
Tapi itu bukan akhir dari segalanya.
Kadang, kehilangan justru membuka pintu menuju pengertian.
Bahwa hidup bukan tentang siapa yang bertahan paling lama,
tapi tentang bagaimana kita bertumbuh dari apa yang tertinggal.
Aku belajar menerima.
Menerima luka tanpa menyimpan dendam.
Menerima perpisahan tanpa menyalahkan takdir.
Menerima bahwa kecewa bukan kehancuran, tapi jalan lain menuju kedewasaan.
Karena pada akhirnya, yang menyakitimu hari ini,
mungkin sedang mengajarimu bagaimana mencintai dirimu sendiri lebih utuh.
Bagaimana menjadi manusia--yang tidak bergantung pada siapapun untuk merasa cukup.
Komentar
Posting Komentar